-->

Saturday, June 17, 2017

Viral Tulisan Seorang Wartawan Setelah Mengunjungi Ahok di Mako Brimob

Namun, Bapak kadang mengeluh. Sukarnya menaklukkan Bahasa Mandarin membuatnya harus konsentrasi penuh menghafal setiap goresan huruf-huruf tersebut. Waktu yang dibutuhkan juga tidak sedikit. Makanya, kadang Bapak kepikiran untuk cepat-cepat menyudahi jam kunjungan supaya bisa menamatkan buku basic levelBahasa Mandarinnya. Sekarang, kata Bapak, dia bisa dengan asyik menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca. Waktu seolah-olah selalu berpihak padanya. Tak ada batasan waktu karena harus rapat, menulis surat disposisi, menghadiri berbagai pertemuan, ataupun sekedar pergi keluar dari tempat tinggalnya sekarang. Sekarang semuanya jadi kayak tanggal merah buat gue, katanya. Lalu, saya guyon membalas, “Lah kita juga pak. Tenang aja.”


(LOL. Sesungguhnya ini miris bercampur curcol)

Kegiatan lain yang Bapak gemar lakukan adalah berolahraga. Ada salah satu dari kami sempat memerhatikan massa otot tangannya. Nampaknya makin kekar, katanya. Benar saja. Bapak bilang, dia bisa berolahraga dua jam setiap pagi dan sore. Berbagai latihan dia lakukan: senam jantung, push up, sit up, latihan otot bawah untuk perkuat lutut, hingga pull-up. Tak lupa, Bapak menggunakan alat ukur detak jantung untuk mengontrol seberapa berat olahraga yang sudah dilakukan. Pull-up menjadi latihan favorit Bapak. Dia merasa keren, seperti Batman katanya. Tapi, saya rasanya alasan utamanya adalah untuk menakut-nakuti napi lainnya. Kata dokter di penjara, untuk bobot bapak yang mencapai 90 kg itu teorinya tak mungkin melakukan pull-up. Tapi, Bapak bisa. Bukan bapak jika tidak bisa mendobrak sesuatu dan menjadikannya lebih baik kan? Jadi, kata Bapak, para napi bisa lihat bahwa Bapak bukannya menjadi tak berdaya di sana, tapi sebaliknya.

Lalu, Bapak bercerita soal dirinya yang beradaptasi dengan suasana di dalam sel. Satu hingga dua minggu pertama, Bapak tidak bisa tidur. Rasanya seperti semua beton tembok ingin menghimpit dan menghancurkannya. Satu jam sekali Bapak terbangun dari tidurnya. Segala doa yang dipanjatkan tak mempan juga. Hanya bisa pasrah menunggu fajar tiba dan pintu sel terbuka, baru bapak bisa bernapas lega. Pernah satu malam, dada Bapak terasa sesak. Bapak tahu itu bukan serangan jantung karena dia tak berkeringat dingin. Bapak sempat panik dan meneriaki penjaga sel yang terlelap. Tapi, Bapak menolak dipanggilkan dokter. Dia tahu fisiknya baik-baik saja. Namun hati dan pikirannya tidak. Belakangan Bapak tahu, itu adalah ‘serangan’ wajar untuk napi yang baru dijebloskan ke dalam penjara. Bapak banyak belajar dari para napi lainnya untuk berdamai dengan kehidupan baru mereka ini.

Bapak ditempatkan di salah satu sel terdepan yang ada di Mako Brimob, letaknya dekat dengan gedung Provost, tempat Bapak menerima kunjungan. Di sana ada empat sel yang masing-masing berukuran 4 meter x 3 meter. Biasanya yang menempati adalah polisi yang terseret kasus kriminal. Brotoseno (suami Angelina Sondakh) menjadi salah satu penghuninya. Kebetulan sel yang ditempati Bapak dekat dengan salah satu ruangan kantor Provost, jadi kadang dia sempat kena sedikit-sedikit ‘angin surga’ dari pendingin ruangan yang terpasang di sana. Di dalam sel Bapak ada kasur, meja kecil, dan kamar mandi seadanya. Ruangan selnya mirip seperti ruangan sel untuk tahanan KPK (tapi bukan versi upgrade hasil sogokan pejabat korup). Bapak senang sekali ketika tahu ada meja di sana. Dia bisa menulis kerangka buku yang sedang dia susun, serta membalas surat-surat warga yang datang. Satu yang Bapak tidak sukai.

“Gue sebenarnya paling gak tahan sama kamar mandinya.”
Ukuran kamar mandinya persis untuk menampung badan Bapak dengan disisakan jarak kurang dari sejengkal kalau Bapak bergerak. Di depannya, ada kloset seadanya. Lantai kamar mandi yang tak bersekat dengan lantai kamar membuat Bapak harus berkali-kali mengelap lantai agar air tak mendekati kasurnya. Bapak tak tahan becek. Hal yang membuatnya paling sepi adalah saat-saat dirinya duduk di kloset. Jika dia berada di rumah, Bapak akan langsung menyetel televisi. Kali ini tak ada TV, tak ada satu pun alat elektronik. Letak kloset yang langsung menghadap ke arah meja juga sempat membuat dirinya tak nafsu makan. Satu lagi, pada awal-awal dirinya menginap di hotel prodeo itu, dia belum terbiasa dengan ‘keterbukaan’ kamar mandi di tiap sel. “Motto gue emang transparan, tapi kalau kamar mandi juga transparan, aduh.. malu gue,” guyon Bapak. Ya, saat ini Bapak bahkan sudah bisa membuat candaan dengan kondisinya sendiri.

Malam sebelum kami menjenguk rupanya ‘serangan’ sesak itu datang lagi. Sekarang Bapak sudah bisa mengatasinya. Modalnya satu, ikhlas. Kata Bapak, rasa sesak selalu menyerangnya setiap kali dia berpikir keras soal ketidakadilan yang diterimanya. Namun, sesak itu hilang dengan sendirinya ketika dirinya langsung berserah kepada Tuhan terhadap hidupnya di dalam penjara. Jujur, kata Bapak, rasa keki itu selalu ada. Benar adanya bahwa iman tanpa perbuatan adalah sia-sia. Maka, Bapak menunjukkan level keimanannya sendiri dengan perbuatan-perbuatan yang bisa dia lakukan di dalam penjara. Itung-itung menjaga kadar kewarasan seorang napi tak biasa yang masih terus coba digerus pihak luar meski dirinya sudah dijebloskan ke penjara. Bapak juga bilang bahwa kami tak boleh menyimpan amarah terlalu lama agar hidup kami ke depannya bisa lebih lega dan kami bisa berbuat optimal dalam segala pekerjaan kami. Kata Bapak, kami harus memikirkan hari-hari depan. Berbeda dengannya yang tidak perlu memikirkan hari-hari depan. Menurut pengalaman para napi, hal yang harus dipikirkan adalah apa yang mau diperbuat hari ini. Karena jika memikirkan hari esok, pikiran akan terhimpit dengan kenyataan bahwa besok mereka masih di dalam penjara. Ternyata, kesusahan sehari hanya cukup sehari benar adanya.

Terakhir, makanan tetap menjadi obat jitu bagi Bapak. Misalnya, Bapak sebenarnya kesal ketika ada pejabat yang ujug-ujug datang di malam hari untuk mengobrol ngalor-ngidul, padahal Bapak ingin istirahat. Tapi, kekesalannya terobati ketika mereka membawakan makanan kesukaan Bapak: pempek, durian, atau cokelat misalnya. Saat kami berkunjung, Bapak sedang ingin makan martabak. Saya sudah menyuruh salah satu teman untuk sebelumnya membelikan martabak, eh dia malah beli durian. Akhirnya, usai kunjungan, saya dan beberapa teman membeli martabak ovomaltine dan martabak keju kesukaan bapak, ditambah martabak telor daging sapi mozzarella sebagai bonus. Sukur-sukur martabak telornya bisa untuk tambahan lauk sarapan. Bapak sebenarnya ingin makan sushi dan sashimi dari Sushi Masa, tapi sepertinya Bapak sadar sendiri bahwa sushi-sushi itu akan keburu rusak ketika sampai di Depok. Jadi, dia hanya tertawa miris saja sambil membayangkan rasanya.

Tak ada satu pun dari kami yang update soal film terbaru di bioskop, lagu terbaru saat ini, restoran seafood baru yang sedang digandrungi orang, ataupun gossip terkini. Kami sadar bahwa semakin banyak Bapak tahu tentang dunia luar, semakin ada keinginan Bapak untuk keluar secepatnya. Padahal, itu mungkin tak baik bagi psikisnya. Pesan terakhir dari Bapak hanya satu: Tolong bilang sama pengunjung, dari agama apapun, kalau mau cerita soal nabi, jangan soal Nabi Yusuf terus. Saya sampai bosan. Nabi kan ada banyak. Saya pun membalas:

Yola: “Yaudah pak, Bapak aja yang ceritain balik ke mereka soal tokoh-tokoh yang Bapak baca dari buku. Ini saya bawakan Bapak buku seri tokoh Tempo: Sjahrir. Bapak bisa cerita soal Sutan Sjahrir, salah satu tokoh bangsa, dengan integritas tinggi dan ketangguhannya yang mampu menggoyang podium internasional untuk memberitakan bahwa Indonesia telah merdeka.”

Bapak: “Sjahrir bukannya mati di penjara? Waduh…”

Yola: (cepat-cepat saya membalas) “Eh buset bukan pak. Beliau mati di Zurich karena sakit. Pembuluh darahnya pecah di otak pas nonton berita bahwa Soeharto naik jadi Presiden.”

Bapak: “E gileee. Oke deh ntar gua baca. Makasih ya.”

Satu concern Bapak yang belum terjawab. Bapak kangen melayani warga Jakarta. Kata Bapak, melayani warga itu sudah menjadi passion dan hobi dia. Tak pernah ada rasa bosan menjalaninya. Itu satu-satunya hal yang belum bisa dia atasi hingga kini. Kamu tahu bagaimana menjawab pertanyaan Bapak yang ini:

Kapan ya saya bisa kembali bermanfaat bagi orang banyak?

Loading...
Loading...

Artikel Terkait

Back To Top